Mengendalikan
Nafsu Seks,Menurut Ajaran Hindu
Oleh : Drs. Ketut Wiana, MAg, Dosen
UNHI Denpasar
ADA
tiga kebutuhan hidup manusia yang paling menonjol yaitu kebutuhan biologis,
sosiologis, dan filosofis. Tiga kebutuhan tersebut saling melengkapi. Kebutuhan
biologis seperti makan, minum, dan hubungan seks. Tiga kebutuhan biologis itu
tidak bisa lepas dengan kebutuhan sosiologis dan filosofis. Jika pemenuhan
kebutuhan biologis tidak berdasarkan aspek sosiologis dan filosofis, manusia
bisa diidentikkan dengan hewan.
Agama
Hindu mengajarkan agar umat Hindu mengarahkan tujuan hidupnya pada empat tujuan
hidup yang disebut Dharma, Artha, Kama, dan Moksha. Kama adalah dorongan hidup
atau keinginan yang harus diwujudkan berdasarkan Dharma dan Artha. Swami Satya
Narayana Kama menjadi salah satu tujuan hidup bukan berarti hidup ini mengikuti
keinginan atau hawa nafsu. Kama sebagai tujuan hidup untuk mengubah Kama itu
dan Wisaya Kama menuju Sreya Kama. Dan dorongan hidup untuk memenuhi tuntutan
hawa nafsu (wisaya) beralih secara bertahap menuju Sreya Kama untuk
membangun keinginan untuk dekat dengan Tuhan berdasarkan kasih sayang dan
keikhlasan.
Kama
dalam Katha Upanisad diumpamakan bagaikan kuda kereta. Tentunya kalau kuda
kereta itu sehat dan kuat akan sangat baik untuk menarik kereta. Asalkan kuda
yang kuat dan sehat itu patuh pada tuntunan tali kekang yang dikendalikan
kusir. Tali kekang diumpamakan pikiran, kusir kereta diumpamakan kesadaran
budi.
Libido
seksual adalah salah satu ekspresi kama. Untuk memenuhi libido seksual harus
diikuti arahan pikiran dan kesadaran budi seperti kuda yang demikian patuh pada
arahan tali kekang yang dikendalikan kusir. Pikiran dan kesadaran budi itu akan
dengan kuat mengarahkan dorongan seksualitas jika pikiran dan kesadaran budi
itu dicerahkan ajaran suci sabda Tuhan. Tentang pemenuhan libido seksualitas
itu para Resi Hindu telah menghasilkan ajaran sastra yang dilahirkan dan sabda
suci Weda. Ajaran tentang pengendalian seks itu dituangkan dalam berbagai
pustaka. Dalam pustaka Sanskerta ada kitab Kama Sutra.
Dalam
lontar di Bali ada berbagai pustaka yang mengajarkan bagaimana norma
pengendalian seksualitas. Tentang pengendalian libido seksualitas itu dalam
pustaka Sanskerta banyak diuraikan dalam pustaka Kama Sutra. Pustaka Kama Sutra
merupakan pustaka seksologinya Hindu. Dalam kepustakaan Hindu di Bali ada
beberapa pustaka yang menguraikan tentang etika dan teknik pengendalian libido
seksualitas. Dalam khazanah pustaka tentang seksologi ada lontar Sanggama
Sasana, Cumbana Sesana, Smara Krida Laksana, Rukmini Tatwa, Resi Sambina,
Rahasia Sanggama, Stri Sesana, Wadu Laksana, Usada Smaratura, Prasi Dampati
Lalangon dan lain-lainnya.
Prinsip
teknik pengendalian libido seksualitas itu adalah menguatkan rasa ketuhanan
dengan konsep Smara Ratih. Maksudnya dalam hubungan seks suami istri agar
senantiasa dilakukan bagaikan hubungan Dewa Smara dengan Dewi Ratih. Hubungan
seks yang dikendalikan kesadaran rasa ketuhanan yang kuat itulah yang disebut
Yoga Senggama dalam lontar Resi Sambina. Jadinya hubungan seks yang
dikendalikan kesadaran rasa ketuhanan yang kuat adalah salah satu praktik yoga
untuk mencapai peningkatan spiritual, karena kesadaran rasa ketuhanan yang kuat
itu akan menonjolkan berekspresinya kasih sayang dalam hubungan seks. Kuatnya
ekspresi dan eksistansi kasih sayang dalam hubungan seks akan membangun
kehidupan lahir batin yang seimbang. Dengan menguat.kan kesadaran rasa
ketuhanan dalam melakukan hubungan seks maka akan muncul perilaku seks yang
etis dan romantis. Hubungan seks yang erotis dan sadistis akan dapat dihindari.
Tidak akan ada hubungan seks yang dapat dilakukan kalau tidak berdasarkan kasih
sayang. Dengan demikian seorang laki-laki tidak mungkin melakukan perkosaan
pada pasangan jenisnya yang tidak dicintai dan disayangi dan yang tidak
menyayanginya. Libido seksualnya tidak akan bangkit kalau tidak dengan pasangan
yang saling mencintai dan saling menyayangi.
Sangat
berbeda dengan hubungan seks yang dilakukan semata-mata untuk mengumbar hawa
nafsu berahi. Meskipun lawan jenisnya meronta-ronta menolak hubungan seks
tersebut tetap saja akan dilakukan mereka yang hanya membutuhkan seks
berdasarkan gejolak hawa nafsu. Mereka yang hatinya digelapkan gejolak nafsu
berahi tidak akan mamandang kedudukan lawan jenisnya. Apakah lawan jenisnya itu
istri atau orang lain, ipar, apakah anak di bawah umur bahkan hewan sekalipun,
asalkan nafsu seksnya tersalurkan bagi mereka sudah dapat mencapai kepuasan.
Berbagai
pustaka Hindu tentang seksologi mengajarkan bahwa melakukan hubungan seks
hendaknya mengingat pada berbagai dewa yang hadir dalam tiap hubungan seks.
Menurut lontar Rsi Sambina tiap melakukan hubungan seks hendaknya merapalkan
mantra-mantra tertentu. Lontar Rsi Sambina menyatakan mantra utama yang amat
baik dirapalkan adalah Bija Mantra dan mantra-mantra permohonan lainnya.
Tujuannya, agar hubungan seks itu mencapai hasil untuk kebaikan dan kebenaran
seperti kehamilan, kesehatan, dan kepuasan rohani dalam bercinta kasih. Dalam
pustaka Hindu tentang seksologi itu dinyatakan tiap berhubungan badan seperti
saat berciuman, berpelukan sampai bersanggama hendaknya senantiasa menghadirkan
dan memuja dewa-dewa tertentu manifestasi Tuhan Yang Maha Esa. Ini artinya
dalam melakukan hubungan seks jangan sampai lupa diri terjebak pada kakuasaan
hawa nafsu atau Wisaya Kama, Hal itu dapat mejerumuskan pasangan pada seks yang
erotis bahkan bisa mangarah pada seks yang sadistis.
Hubungan
seks yang berkualitas adalah hubungan seks yang dilakukan dengan pengendalian
rohani yang kuat bagaikan jalannya kereta yang ditarik kuda yang sehat dan kuat
tetapi patuh pada kendali kusir dengan tali kekangnya. Ini artinya kedudukan
nafsu dalam hubungan seks bagaikan kuda yang sehat dan kuat tetapi tetap patuh
pada kendali tali kekang yang dikendalikan kusir. Hubungan seks hanya baik
dilakukan kalau berdasarkan pertimbangan rohani bukan sekadar karena
bergejolaknya libido seksual.
Hubungan
seks barwajah ganda. Ada hubungan seks dilakukan karena munculnya gejolak
berahi yang sampai mengubun-ubun. Hubungan seks yang demikian dapat menimbulkan
dosa dan bahkan dapat mengganggu kasehatan lahir batin. Ada hubungan seks yang
dilakukan berdasarkan tuntunan rohani. Hubungan seks yang demikian akan dapat
memberi keturunan yang baik, kesehatan badan, kepuasan rohani juga kepada
pasangannya.
Menurut
kekawin Nitisastra seseorang baru dianggap layak memikirkan tentang hubungan
seks setelah berumur setidak-tidaknya 20 tahun. Dalam kekawin Nitisastra dinyatakan
sebagai berikut: Smara Wisaya wang puluhing ayusa. Agar manusia tidak terjebak
nafsu seks yang menggebu-gebu.*