SETIAP ORANG BISA
IKUT TANGGULANGI TERORISME
(Sebuah nukilan menyambut Hari Juang Kartika, 2005)
Oleh : G.T. Situmorang *
(Sebuah nukilan menyambut Hari Juang Kartika, 2005)
Oleh : G.T. Situmorang *
Peristiwa Bom Bali I |
Tentu masih segar dalam ingatan kita,
bagaimana Bali sampai dua kali diguncang bom. Bali yang terkenal aman, toleran
dan menjadi salah satu tujuan wisata dunia, tiba-tiba mengharu biru akibat
dikoyak-koyak bom. Peristiwa ini bukanlah bagian yang hanya dirasakan Bali.
Masyarakat Jakarta dan kota-kota lain, hingga masyarakat internasional juga
turut berduka karena ledakan bom di berbagai kota di tanah air.Semua insan yang
mencintai kehidupan menaruh harap, kiranya bumi nusantara tidak lagi dibasahi
linangan air mata duka, apalagi ceceran darah karena bom dan aksi teror dalam
semua bentuk.
Kita patut bersyukur untuk dua hal.
Pertama, Kepolisian Negara telah berhasil dalam operasi pencarian yang panjang
yang akhirnya menewaskan Dr. Azahari Bin Husin, salah seorang teroris
berkewarganegaraan Malaysia. Kedua, Papua hingga saat ini tidak mengalami
getirnya serangan teroris.
Sungguh bijak kalau seluruh komponen
bangsa di Papua mulai bergegas meningkatkan kepekaan dan bersikap waspada. Noor
Din M. Top, teroris rekan Azahari dan komplotannya masih jadi ancaman yang
tidak bisa dibiarkan.
Terorisme memang musuh kehidupan,
sehingga wajar ditangani secara luas. Di tingkat regional, pemerintahan
negara-negara ASEAN, saat ini telah ada kerjasama militer khusus dalam
pertukaran informasi intelijen secara terpadu. Pada tataran dalam negeri,
Presiden RI, terorisme telah mengingatkan daya rusak terorisme kehidupan sosial
dan pembangunan ekonomi. "Terorisme juga telah merusak ketentraman sosial,
dan menghambat pembangunan ekonomi kita. Sebab itu, saya minta kepada jajaran
TNI, untuk mengambil bagian secara efektif dalam menangkal, mencegah dan
menindak terorisme" kata Presiden RI, DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono,
pada peringatan Hari TNI, 5 Oktober 2005.
Ketika itu, Presiden menyebut
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, telah
memberikan tugas kepada TNI untuk melakukan operasi militer selain perang,
dalam mengatasi aksi terorisme.Sementara itu, di tingkat Kodam XVII/Trikora,
saat ini telah terbentuk desk antiteror. Pada tahap awal, kader pelatih
antiteror pun tengah digembleng dengan latihan-latihan yang bersifat mendasar.
Sdpintas, penanganan penyalahgunaan bom dalam berbagai aksi teror, merupakan
urusan aparat keamanan yang memang ditugaskan untuk itu. Sekarang, untuk
membantu pihak keamanan, TNI juga turut mengambil bagian meskipun dalam
kewenangan terbatas.
Jika pencegahan dan penanganan akibat
aksi teror hanya dilakukan kedua mitra berbaju seragam itu, ada pertanyaan
penting untuk dijawab. Seberapa cepat dan baik tugas itu dapat dilaksanakan?
Adalah lebih baik memikirkan apa yang
dapat kita lakukan bersama, daripada membuang waktu hanya untuk memperdebatkan
jawaban yang memuaskan. Ini adalah tugas bersama, bukan hanya urusan kepolisian
plus tentara. Ini tugas semua insan yang mencintai kehidupan. Mungkin sekarang
belum banyak pihak yang turut berpartisipasi dalam kegiatan pencegahan aksi
teror. Tetapi nanti, penghargaan yang tinggi pada kehidupan bangsa dan
universal, akan memotivasi setiap orang mengambil bagian.
Setiap orang dari semua kalangan bisa
berperan mencegah terjadinya teror. Meski tidak terjun langsung, tetapi informasi
tentang gejala-gejala yang mencurigakan di lingkungannya sudah cukup membantu.
Kemampuan kita untuk mencegah dan
menanggulangi terorisme sebenarnya cukup besar. Daya tangkal yang kita miliki
sungguh kuat karena potensi kekuatan bangsa tersebar di kota-kota hingga ke
seluruh pelosok tanah air.Salah satu kekuatan tersebut adalah jalinan kerjasama
rakyat dengan aparat teritorial di tingkat Kodim hingga para Babinsa di
jajarannya. Kerjasama rakyat dengan aparat TNI bukanlah barang baru bagi kita.
Sejak dahulu, hubungan TNI yang manunggal dengan rakyat terbukti menjadi
kekuatan bangsa."Kemanunggalan TNI dengan rakyat terbukti sangat ampuh
dalam menghadapi tantangan bangsa, khususnya di daerah ini" kata Bupati
Jayapura Habel M. Suwae, S. Sos, MM.
Itu disampaikan Bupati ketika
memberangkatkan Peleton Beranting Yudha Wastu Pramuka Jaya Kodam XVII/Trikora
di Distrik Nimbokrang, Jayapura, minggu kedua bulan ini, dalam amanat yang
dibacakan Wakil Bupati Ir. Tunggul Simbolon, MA. Pada Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Depdikbud RI, 1988, terorisme diartikan sebagai penggunaan kekerasan
untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan
politik). Arti lain dalam buku yang sama, ialah praktik-praktik tindakan teror.
Dari pengertian tersebut, terorisme
ternyata bukan hanya kekerasan dalam bentuk peledakan bom, seperti yang terjadi
di pusat kota. Setiap kekerasan yang ditujukan untuk menimbulkan ketakutan
dalam usaha mencapai tujuan politik, adalah terorisme, tanpa memandang di mana
locus delicti-nya. Di keramaian kota, desa bahkan dusun yang jauh di pelosok
juga sama.Untuk kondisi spesifik Papua, bentuk-bentuk penggunaan kekerasan yang
menimbulkan ketakutan, dalam kaitan dengan pencapaian tujuan politik, bukanlah
sebuah kemustahilan.Musbariah, seorang ibu dari Desa Ujungmanik, Kawunganten,
Cilacap - Jawa Tengah yang tidak pernah menyangka anak kandungnya Misno
terlibat dalam aksi bom Bali kedua. Seperti Musbariah, kita pun bisa terkaget
jika lingkungan yang aman tiba-tiba dikenal luas sebagai tempat tinggal
kelompok teroris merancang semua aksinya. Pada pelbagai kesempatan kita sering
mendengar kalimat Papua, tanah yang diberkati dengan nama Tuhan. Kita tidak
dapat membiarkan tanah damai ini dirongrong ledakan bom, teror atau kekerasan
lain yang ditujukan untuk menimbulkan ketakutan, demi tujuan politik tertentu.
Semua insan yang mencintai kehidupan
dan peradaban di tanah ini, perlu bergandengan tangan. Kepekaan semua pihak
terhadap hakikat ancaman dan pemberian informasi kepada aparat teritorial terdekat,
adalah langkah awal pencegahan terorisme.
Hal penting yang mengantar kepekaan
sebagai langkah awal pencegahan terorisme ialah kemauan dan kemampuan
berkomunikasi. Kepekaan tidak akan berarti banyak, jika gejala ancaman itu
tidak dikomunikasikan dengan baik kepada pihak-pihak yang berwenang. Untuk
komunikasi yang baik, ada baiknya kita menelisik apakah ada faktor perbedaan
atau pembedaan dalam pergaulan sosial. Perbedaan, apalagi pembedaan merupakan
kondisi yang memiliki andil besar dalam terhambatnya komunikasi dan
kerjasama.Kalau ada, kita perlu membuka tirai perbedaan dan menghapus
pembedaan. Juni lalu, sehari setelah menjabat sebagai Pangdam XVII/Trikora,
secara tegas Mayjen TNI George Toisutta mengatakan semua prajuritnya adalah
orang Papua.Menurutnya, semua orang yang hidup, tinggal dan bekerja di Papua
harus merasa sebagai orang Papua. Mantan Panglima Divisi 1/Kostrad itu juga
berujar, pembeda-bedaan akan menjadi penghambat komunikasi dan kerjasama satu
sama lain. Lebih luas dari sebatas lingkungan prajurit berbaju hijau itu,
andaikata kita semua yang tinggal di Papua - apapun profesi dan latar
belakangnya - merasa sebagai orang Papua, niscaya kerjasama menghalau terorisme
akan terjalin baik.
Ancaman penggunaan kekerasan yang
ditujukan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan politik di
tanah ini tidak bisa diabaikan. Demi Papua yang aman, tenteram dalam kerja
keras menuju kesejahteraan umum yang lebih baik, mari kita jaga tanah damai
dari segala kemungkinan terjadinya terorisme.Dengan semangat kasih yang tumbuh
subur di tanah damai ini, mari kita mengasihi semua umat dengan kerjasama
menanggulangi terorisme. Hidup itu sungguh berharga. Kedamaian di Papua sangat
penting bagi kita. Pemaksaan kematian banyak orang dengan cara kekerasan untuk
tujuan politik, bertentangan dengan kasih. Sekali lagi, terorisme adalah musuh
kehidupan, musuh kita bersama yang menghargai karunia Tuhan, Sang Maha Pengasih
dan Pemilik Kehidupan itu.
*
Penulis adalah Kepala Penerangan Kodam XVII/Trikora