Setiap Orang Bisa Ikut Tanggulangi Terorisme

Rabu, 25 Juli 20120 komentar


SETIAP ORANG BISA IKUT TANGGULANGI TERORISME
(Sebuah nukilan menyambut Hari Juang Kartika, 2005)
Oleh : G.T. Situmorang *

Peristiwa Bom Bali I
Tentu masih segar dalam ingatan kita, bagaimana Bali sampai dua kali diguncang bom. Bali yang terkenal aman, toleran dan menjadi salah satu tujuan wisata dunia, tiba-tiba mengharu biru akibat dikoyak-koyak bom. Peristiwa ini bukanlah bagian yang hanya dirasakan Bali. Masyarakat Jakarta dan kota-kota lain, hingga masyarakat internasional juga turut berduka karena ledakan bom di berbagai kota di tanah air.Semua insan yang mencintai kehidupan menaruh harap, kiranya bumi nusantara tidak lagi dibasahi linangan air mata duka, apalagi ceceran darah karena bom dan aksi teror dalam semua bentuk.


Kita patut bersyukur untuk dua hal. Pertama, Kepolisian Negara telah berhasil dalam operasi pencarian yang panjang yang akhirnya menewaskan Dr. Azahari Bin Husin, salah seorang teroris berkewarganegaraan Malaysia. Kedua, Papua hingga saat ini tidak mengalami getirnya serangan teroris.

Sungguh bijak kalau seluruh komponen bangsa di Papua mulai bergegas meningkatkan kepekaan dan bersikap waspada. Noor Din M. Top, teroris rekan Azahari dan komplotannya masih jadi ancaman yang tidak bisa dibiarkan.

Terorisme memang musuh kehidupan, sehingga wajar ditangani secara luas. Di tingkat regional, pemerintahan negara-negara ASEAN, saat ini telah ada kerjasama militer khusus dalam pertukaran informasi intelijen secara terpadu. Pada tataran dalam negeri, Presiden RI, terorisme telah mengingatkan daya rusak terorisme kehidupan sosial dan pembangunan ekonomi. "Terorisme juga telah merusak ketentraman sosial, dan menghambat pembangunan ekonomi kita. Sebab itu, saya minta kepada jajaran TNI, untuk mengambil bagian secara efektif dalam menangkal, mencegah dan menindak terorisme" kata Presiden RI, DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono, pada peringatan Hari TNI, 5 Oktober 2005.

Ketika itu, Presiden menyebut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, telah memberikan tugas kepada TNI untuk melakukan operasi militer selain perang, dalam mengatasi aksi terorisme.Sementara itu, di tingkat Kodam XVII/Trikora, saat ini telah terbentuk desk antiteror. Pada tahap awal, kader pelatih antiteror pun tengah digembleng dengan latihan-latihan yang bersifat mendasar. Sdpintas, penanganan penyalahgunaan bom dalam berbagai aksi teror, merupakan urusan aparat keamanan yang memang ditugaskan untuk itu. Sekarang, untuk membantu pihak keamanan, TNI juga turut mengambil bagian meskipun dalam kewenangan terbatas.

Jika pencegahan dan penanganan akibat aksi teror hanya dilakukan kedua mitra berbaju seragam itu, ada pertanyaan penting untuk dijawab. Seberapa cepat dan baik tugas itu dapat dilaksanakan?

Adalah lebih baik memikirkan apa yang dapat kita lakukan bersama, daripada membuang waktu hanya untuk memperdebatkan jawaban yang memuaskan. Ini adalah tugas bersama, bukan hanya urusan kepolisian plus tentara. Ini tugas semua insan yang mencintai kehidupan. Mungkin sekarang belum banyak pihak yang turut berpartisipasi dalam kegiatan pencegahan aksi teror. Tetapi nanti, penghargaan yang tinggi pada kehidupan bangsa dan universal, akan memotivasi setiap orang mengambil bagian.


Setiap orang dari semua kalangan bisa berperan mencegah terjadinya teror. Meski tidak terjun langsung, tetapi informasi tentang gejala-gejala yang mencurigakan di lingkungannya sudah cukup membantu.

Kemampuan kita untuk mencegah dan menanggulangi terorisme sebenarnya cukup besar. Daya tangkal yang kita miliki sungguh kuat karena potensi kekuatan bangsa tersebar di kota-kota hingga ke seluruh pelosok tanah air.Salah satu kekuatan tersebut adalah jalinan kerjasama rakyat dengan aparat teritorial di tingkat Kodim hingga para Babinsa di jajarannya. Kerjasama rakyat dengan aparat TNI bukanlah barang baru bagi kita. Sejak dahulu, hubungan TNI yang manunggal dengan rakyat terbukti menjadi kekuatan bangsa."Kemanunggalan TNI dengan rakyat terbukti sangat ampuh dalam menghadapi tantangan bangsa, khususnya di daerah ini" kata Bupati Jayapura Habel M. Suwae, S. Sos, MM.

Itu disampaikan Bupati ketika memberangkatkan Peleton Beranting Yudha Wastu Pramuka Jaya Kodam XVII/Trikora di Distrik Nimbokrang, Jayapura, minggu kedua bulan ini, dalam amanat yang dibacakan Wakil Bupati Ir. Tunggul Simbolon, MA. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud RI, 1988, terorisme diartikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik). Arti lain dalam buku yang sama, ialah praktik-praktik tindakan teror.

Dari pengertian tersebut, terorisme ternyata bukan hanya kekerasan dalam bentuk peledakan bom, seperti yang terjadi di pusat kota. Setiap kekerasan yang ditujukan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan politik, adalah terorisme, tanpa memandang di mana locus delicti-nya. Di keramaian kota, desa bahkan dusun yang jauh di pelosok juga sama.Untuk kondisi spesifik Papua, bentuk-bentuk penggunaan kekerasan yang menimbulkan ketakutan, dalam kaitan dengan pencapaian tujuan politik, bukanlah sebuah kemustahilan.Musbariah, seorang ibu dari Desa Ujungmanik, Kawunganten, Cilacap - Jawa Tengah yang tidak pernah menyangka anak kandungnya Misno terlibat dalam aksi bom Bali kedua. Seperti Musbariah, kita pun bisa terkaget jika lingkungan yang aman tiba-tiba dikenal luas sebagai tempat tinggal kelompok teroris merancang semua aksinya. Pada pelbagai kesempatan kita sering mendengar kalimat Papua, tanah yang diberkati dengan nama Tuhan. Kita tidak dapat membiarkan tanah damai ini dirongrong ledakan bom, teror atau kekerasan lain yang ditujukan untuk menimbulkan ketakutan, demi tujuan politik tertentu.

Semua insan yang mencintai kehidupan dan peradaban di tanah ini, perlu bergandengan tangan. Kepekaan semua pihak terhadap hakikat ancaman dan pemberian informasi kepada aparat teritorial terdekat, adalah langkah awal pencegahan terorisme.

Hal penting yang mengantar kepekaan sebagai langkah awal pencegahan terorisme ialah kemauan dan kemampuan berkomunikasi. Kepekaan tidak akan berarti banyak, jika gejala ancaman itu tidak dikomunikasikan dengan baik kepada pihak-pihak yang berwenang. Untuk komunikasi yang baik, ada baiknya kita menelisik apakah ada faktor perbedaan atau pembedaan dalam pergaulan sosial. Perbedaan, apalagi pembedaan merupakan kondisi yang memiliki andil besar dalam terhambatnya komunikasi dan kerjasama.Kalau ada, kita perlu membuka tirai perbedaan dan menghapus pembedaan. Juni lalu, sehari setelah menjabat sebagai Pangdam XVII/Trikora, secara tegas Mayjen TNI George Toisutta mengatakan semua prajuritnya adalah orang Papua.Menurutnya, semua orang yang hidup, tinggal dan bekerja di Papua harus merasa sebagai orang Papua. Mantan Panglima Divisi 1/Kostrad itu juga berujar, pembeda-bedaan akan menjadi penghambat komunikasi dan kerjasama satu sama lain. Lebih luas dari sebatas lingkungan prajurit berbaju hijau itu, andaikata kita semua yang tinggal di Papua - apapun profesi dan latar belakangnya - merasa sebagai orang Papua, niscaya kerjasama menghalau terorisme akan terjalin baik.

Ancaman penggunaan kekerasan yang ditujukan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan politik di tanah ini tidak bisa diabaikan. Demi Papua yang aman, tenteram dalam kerja keras menuju kesejahteraan umum yang lebih baik, mari kita jaga tanah damai dari segala kemungkinan terjadinya terorisme.Dengan semangat kasih yang tumbuh subur di tanah damai ini, mari kita mengasihi semua umat dengan kerjasama menanggulangi terorisme. Hidup itu sungguh berharga. Kedamaian di Papua sangat penting bagi kita. Pemaksaan kematian banyak orang dengan cara kekerasan untuk tujuan politik, bertentangan dengan kasih. Sekali lagi, terorisme adalah musuh kehidupan, musuh kita bersama yang menghargai karunia Tuhan, Sang Maha Pengasih dan Pemilik Kehidupan itu.

* Penulis adalah Kepala Penerangan Kodam XVII/Trikora
Share this article :
 
Support : Hartantto Website
Copyright © 2012. Selusin Corp - All Rights Reserved
Published by Hartanto
Proudly powered by Blogger